Ketua Dewan Penasehat Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) Pusat, Muh Zen, meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), untuk mempertimbangkan ulang adanya rencana menerapkan delapan jam di sekolah atau 'full day school'.
Kemarin waktu Presiden Joko Widodo di Semarang, kita juga sudah sampaikan keluhan itu. Dan 26 November mendatang, kita juga akan mengadu ke DPR RI soal rencana Mendikbud itu," katanya, Minggu (20/11/2016).
Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah ini mengungkapkan, sebelum Mendikbud membuat sistem baru tersebut, di Jawa Tengah juga pernah ada ujicoba penerapan lima hari sekolah yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Namun upaya tersebut ternyata juga ditentang oleh masyarakat.
"Di Jateng sudah banyak yang menolak soal lima hari sekolah oleh Pemprov. Dan sekarang sepertinya juga sudah kembali ke enam hari lagi," katanya.
Zen mengatakan, ujicoba di 500 sekolah di Indonesia oleh pemerintah pusat dilakukan mulai dari Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Jika nantinya ini akan diberlakukan ke seluruh sekolah, maka dampaknya dinilai akan buruk.
Sebab, lanjutnya, anak-anak usia SD dan SMP/SLTP biasanya ketika selesai bersekolah pagi, sore harinya belajar di madrasah diniyah (madin). Bahkan di Jateng saja terdapat 10.150 madin yang 80 persen siswanya anak usia SD dan SMP.
"Kalau full day school sampai jam 16.00 sore, anak tidak mungkin bisa belajar lagi di madin. Di sisi lain, angkutan umum untuk di daerah juga tidak sampai sore," katanya.
Menurutnya, jika alasannya pemberlakuan full day school hanya diperuntukan di sekolah perkotaan, maka ini justru akan terjadi ketimpangan antara sekolah di pelosok dengan sekolah di perkotaan. Hal ini menimbulkan dikotomi pendidikan.
Ia menegaskan, daripada pemerintah mengotak-atik sistem pendidikan di Indonesia, sebaiknya memerhatikan 8 standar minimal layanan pendidikan. Perhatiannya pun jangan hanya sekolah berstatus negeri saja, tapi juga sekolah swasta.
"Kalau hanya negeri saja, selamanya akan terjadi kesenjangan. BOS itu hanya operasional, sedangkan pembangunannya itu pemerintah juga harus memerhatikan," katanya.
Zen mencontohkan, masih banyak sekolah yang sanitasinya saja belum memenuhi standar. Bahkan dalam LKPJ Gubernur Jateng 2015 target perbaikan sanitasi sekolah dari 26 persen hanya tercapai 18 persen. kemudian masih ada 40 persen guru di Jateng belum bersertifikasi.
"Sarana sanitasi saja masih kurang, belum fasilitas pendidikan yang lainnya. Hal-hal begini ini lebih penting diperhatikan pemerintah, dibanding mengotak-atik sistem pendidikan yang sudah baik," katanya.
Sumber:http://jateng.tribunnews.com/
Semoga bermakna agar info yan kami sajikan menjadikan kita semakin lebih baik lagi.
Kemarin waktu Presiden Joko Widodo di Semarang, kita juga sudah sampaikan keluhan itu. Dan 26 November mendatang, kita juga akan mengadu ke DPR RI soal rencana Mendikbud itu," katanya, Minggu (20/11/2016).
"Di Jateng sudah banyak yang menolak soal lima hari sekolah oleh Pemprov. Dan sekarang sepertinya juga sudah kembali ke enam hari lagi," katanya.
Zen mengatakan, ujicoba di 500 sekolah di Indonesia oleh pemerintah pusat dilakukan mulai dari Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Jika nantinya ini akan diberlakukan ke seluruh sekolah, maka dampaknya dinilai akan buruk.
Sebab, lanjutnya, anak-anak usia SD dan SMP/SLTP biasanya ketika selesai bersekolah pagi, sore harinya belajar di madrasah diniyah (madin). Bahkan di Jateng saja terdapat 10.150 madin yang 80 persen siswanya anak usia SD dan SMP.
"Kalau full day school sampai jam 16.00 sore, anak tidak mungkin bisa belajar lagi di madin. Di sisi lain, angkutan umum untuk di daerah juga tidak sampai sore," katanya.
Menurutnya, jika alasannya pemberlakuan full day school hanya diperuntukan di sekolah perkotaan, maka ini justru akan terjadi ketimpangan antara sekolah di pelosok dengan sekolah di perkotaan. Hal ini menimbulkan dikotomi pendidikan.
Ia menegaskan, daripada pemerintah mengotak-atik sistem pendidikan di Indonesia, sebaiknya memerhatikan 8 standar minimal layanan pendidikan. Perhatiannya pun jangan hanya sekolah berstatus negeri saja, tapi juga sekolah swasta.
"Kalau hanya negeri saja, selamanya akan terjadi kesenjangan. BOS itu hanya operasional, sedangkan pembangunannya itu pemerintah juga harus memerhatikan," katanya.
Zen mencontohkan, masih banyak sekolah yang sanitasinya saja belum memenuhi standar. Bahkan dalam LKPJ Gubernur Jateng 2015 target perbaikan sanitasi sekolah dari 26 persen hanya tercapai 18 persen. kemudian masih ada 40 persen guru di Jateng belum bersertifikasi.
"Sarana sanitasi saja masih kurang, belum fasilitas pendidikan yang lainnya. Hal-hal begini ini lebih penting diperhatikan pemerintah, dibanding mengotak-atik sistem pendidikan yang sudah baik," katanya.
Sumber:http://jateng.tribunnews.com/
Semoga bermakna agar info yan kami sajikan menjadikan kita semakin lebih baik lagi.
0 Response to " PGSI : DARI PADA MENGOTAK ATIK SISTEM PENDIDKAN YANG EGGAK JELAS LEBIH BAIK PERHATIKAN SARANA PENDIDIKAN SEJAHTERAKAN GURU LINDUNGI GURU,INI PENUTURANYA:"
Posting Komentar