Benih sentralistik kembali ditebar pemerintah pusat. Terkemas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sejumlah kewenangan yang melekat pada kabupatan/kota tercabut.
SEJENAK Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Yusran Aspar menghela napas. Reaksi tubuh yang diperlihatkannya sebelum menjawab pertanyaan media ini.
Ini soal penarikan urusan pendidikan menengah (SMA/SMK), kehutanan, kelautan, energy, dan sumber daya mineral yang dialihkan ke provinsi. Pemerintah pusat men-deadline semua urusan di atas sudah beralih ke provinsi pada November 2017 mendatang.
Yusran secara tegas menyatakan keberatan. Ia mencemaskan penarikan kewenangan kabupaten/kota ke provinsi akan menghambat masuknya investasi ke daerah yang dipimpinnya. Maklum, selama ini sektor kehutanan, kelautan, energi, dan sumber daya mineral menjadi penopang perekonomian di sejumlah kabupaten. Tidak terkecuali Kabupaten PPU.
“Ini menyangkut kepastian hukum bagi pengusaha. Misal investasi HTI, dulu izinnya cukup di kabupaten sudah selesai. Sekarang mereka ragu-ragu karena harus mengurusnya ke provinsi,” urai Yusran memberi contoh.
Bagi Yusran, penarikan kewenangan dari kabupaten/kota oleh provinsi bukan sekadar persoalan harga diri kabupaten/kota. Lebih dari itu, pelimpahan urusan-urusan strategis ini telah mencederai semangat otonomi daerah. Bicara urusan pendidikan menengah misalnya, urusan yang satu ini bukan persoalan yang gampang untuk diambil alih provinsi.
“Guru itu bukan hanya berstatus PNS, yang berstatus honor juga banyak. Apakah pusat sampai berpikir ke sana,” ujarnya.
Dengan suara agak meninggi, Yusran yang ditemui di kediamannya di Kompleks Perumahan Bukit Damai Indah (BDI) Balikpapan, menyebut penarikan urusan pendidikan menengah sebagai refleksi merumitkan permasalahan yang sebenarnya sederhana.
“Tidak ada persoalan pada jenjang SMA dan SMK. Semua baik-baik saja. Tinggal ditambahi duit dan sapras, selesai urusan. Ini kok malah ditarik ke provinsi,” tegasnya kepada Balikpapan Pos.
Di sisi lain, ia menyayangkan sikap pemerintah pusat tidak menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait langkah hukum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) men-judicial review UU 23 Tahun 2014. Ironisnya lagi, meskipun payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) belum dikeluarkan, pemerintah pusat sudah mengeluarkan surat edaran.
“Kita jadi serba salah. Oke, kewenangan BOLEH beralih ke gubernur, tetapi serahkan kembali ke bupati/wali kota melalui tugas perbantuan,” ujarnya.
Menurut Yusran, UU 23/2014 tidak akan dipersoalkan oleh kabupaten/kota apabila terimplementasi dalam bentuk tugas pembantuan. Karena menurut dia, fungsi pemerintah provinsi hanya sebagai pembina kabupaten/kota dan sinergi program. Terhadap daerah yang dianggap tidak mampu, adalah tugas pemerintah pusat dan provinsi untuk membinanya. Bukan menggeneralisasi persoalan di kabupaten/kota lantas menarik kewenangannya kepada provinsi.
“Kewenangan dan tugas tetap ada di kabupaten dan kota. Gubernur cukup perintahkan bupati/wali kota, selesai urusan. Tenaganya tenaga daerah, uangnya dari pusat dan provinsi. Seperti halnya urusan kabupaten diserahkan ke kecamatan,” urai ketua DPD Gerindra Kaltim ini.
Sejatinya, kata Yusran, konsep otonomi daerah telah ada semenjak masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Sebagai pusat pemerintahan, Majapahit dan Sriwijaya hanya menerima upeti dari wilayah yang ditaklukkan. Artinya, daerahlah yang menyerahkan bagi hasil kepada pemerintah pusat. Bukan sebaliknya, seperti era otonomi sekarang yang mulai dilucuti kembali.
“Sederhana sistem pemerintahannya, tapi bisa menguasai berbagai belahan negara,” ucapnya.
Pendapat senada disampaikan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Menurut Rizal, hasil Munas Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia (Apeksi) V di Jambi, akhir Juli lalu mendukung langkah hukum Apkasi men-judicial review UU Pemda.
Apeksi memandang perubahan bukanlah hal yang mudah, karena belum tentu pemerintah daerah dan masyarakat siap. Sejak aturan tersebut dikeluarkan, pelaksana dan pekerja di daerah seolah menjadi kebingungan bahkan terhenti. Meski pemeritah pusat telah mengeluarkan ketentuan SE Mendagri No 120/253/Sj tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan, hingga saat ini urusan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) di daerah masih menjadi masalah. Di sisi lain, daerah sangat menunggu ketentuan secara rinci yang dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP).
Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Sabaruddin Panrecalle mendukung langkah hukum judicial review UU Pemda yang dilakukan Apkasi dan Apeksi. Politikus Partai Gerindra ini menilai UU Pemda telah merenggut otonomi daerah serta mengingkari cita-cita reformasi.
“Pembatasan kewenangan kabupaten/kota adalah langkah mundur. Otonomi daerah seluas-luasnya yang telah ditetapkan sejak era reformasi, kini justru kembali diatur oleh pusat,” katanya.
Dampak selanjutnya, kata dia, beragam permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat tidak dapat diselesaikan secara mandiri. Permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah juga mulai dialami, karena anggaran hingga perizinan dibatasi oleh pemerintah pusat.
“Ketika daerah sedang bersemangat untuk mengembangkan diri, kenapa sekarang justru dibatasi kewenangannya,” ujarnya.
Dalam kesempatan menjadi saksi ahli pada persidangan di MK, Indra Perwira, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjajaran menilai kehadiran UU tentang pemerintahan daerah sangat tidak logis. UU 23/2014 ibarat menghidupkan kembali sosok Zombie yang menyeramkan. Setelah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang bernuansa sentralistik ditinggalkan dengan menerbitkan UU 22 tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 yang bernuansa Otonomi daerah, UU No 5/1974 yang telah dikubur lama justru dihidupkan kembali lewat kelahiran UU 23/2014.
SKETSA LEGALITAS
Muhammad Nasir memperlihatkan dua sketsa. Dilihat sepintas, tak ada yang istimewa dari dua sketsa itu. Sketsa yang sangat sederhana dan bisa dibuat oleh anak kecil sekalipun.
Yang mencengangkan, ketika dua sketsa tersebut dilelang di rumah lelang Inggris, harganya mencapai Rp 350 juta. Nominal yang sangat fantastik untuk dua sketsa yang terbuat dari pulpen biasa dan diburu kolektor. Setelah dicermati lebih detail, pada dua sketsa tersebut terdapat goresan LSL -tanda tangan pembuatnya. Seorang seniman lukis yang sangat terkenal. Tanpa goresan tanda tangan seniman lukis terkenal itu, dua sketsa tersebut tak memiliki nilai dan tak akan menjadi incaran kolektor.
Beginilah cara dosen Universitas Balikpapan (Uniba) tersebut memberikan ilustrasi dan mengaitkan dua sketsa bernilai mahal dengan legalitas kelembagaan pengelolaan hutan yang akan ditarik menjadi kewenangan provinsi.
Akademisi yang concern terhadap persoalan lingkungan itu berpendapat, kebijakan pengelolaan hutan pasca peralihan kewenangan dari kabupaten ke provinsi sesuai amanat UU No 23/2014, sangat dipengaruhi oleh tiga unsur. Pertama, cara pandang pemerintah provinsi terhadap nilai strategis pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi. Kedua, cara pandang terhadap urgensi KPHL bagi pengelolaan hutan. Dan ketiga terkait peraturan hukum tentang organisasi perangkat daerah pasca UU No 23 /2014.
Ia lebih sepakat apabila kelembagaan pengelolaan hutan bersifat tugas perbantuan. Sebab, model ini membuka peluang bagi pemkab dan pemkot untuk terlibat menjaga komitmennya dalam menjaga hutan.
Mewakili Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Anwar Saleh mengakui bahwa pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan kepada provinsi cukup berat. Beban berat yang dihadapi pemerintah provinsi, utamanya bersentuhan dengan keterbatasan anggaran dan personel.
Ia menjelaskan pada tahun 2017 mendatang, Pemprov Kaltim hanya mendapat anggaran sebesar Rp 6,6 triliun. “Untuk PU saja tidak cukup, dan itu dibagi kepada 52 SKPD sehingga beberapa SKPD seperti kami sangat kecil sekali. Terus terang, ada tiga bidang di dinas kehutanan yang tidak mendapat anggaran sama-sekali,” bebernya. Sumber:http://balikpapan.prokal.co/
Demikiansemoga bermanfaat,terima kasih.
SEJENAK Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Yusran Aspar menghela napas. Reaksi tubuh yang diperlihatkannya sebelum menjawab pertanyaan media ini.
Ini soal penarikan urusan pendidikan menengah (SMA/SMK), kehutanan, kelautan, energy, dan sumber daya mineral yang dialihkan ke provinsi. Pemerintah pusat men-deadline semua urusan di atas sudah beralih ke provinsi pada November 2017 mendatang.
Yusran secara tegas menyatakan keberatan. Ia mencemaskan penarikan kewenangan kabupaten/kota ke provinsi akan menghambat masuknya investasi ke daerah yang dipimpinnya. Maklum, selama ini sektor kehutanan, kelautan, energi, dan sumber daya mineral menjadi penopang perekonomian di sejumlah kabupaten. Tidak terkecuali Kabupaten PPU.
“Ini menyangkut kepastian hukum bagi pengusaha. Misal investasi HTI, dulu izinnya cukup di kabupaten sudah selesai. Sekarang mereka ragu-ragu karena harus mengurusnya ke provinsi,” urai Yusran memberi contoh.
Bagi Yusran, penarikan kewenangan dari kabupaten/kota oleh provinsi bukan sekadar persoalan harga diri kabupaten/kota. Lebih dari itu, pelimpahan urusan-urusan strategis ini telah mencederai semangat otonomi daerah. Bicara urusan pendidikan menengah misalnya, urusan yang satu ini bukan persoalan yang gampang untuk diambil alih provinsi.
“Guru itu bukan hanya berstatus PNS, yang berstatus honor juga banyak. Apakah pusat sampai berpikir ke sana,” ujarnya.
Dengan suara agak meninggi, Yusran yang ditemui di kediamannya di Kompleks Perumahan Bukit Damai Indah (BDI) Balikpapan, menyebut penarikan urusan pendidikan menengah sebagai refleksi merumitkan permasalahan yang sebenarnya sederhana.
“Tidak ada persoalan pada jenjang SMA dan SMK. Semua baik-baik saja. Tinggal ditambahi duit dan sapras, selesai urusan. Ini kok malah ditarik ke provinsi,” tegasnya kepada Balikpapan Pos.
Di sisi lain, ia menyayangkan sikap pemerintah pusat tidak menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait langkah hukum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) men-judicial review UU 23 Tahun 2014. Ironisnya lagi, meskipun payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) belum dikeluarkan, pemerintah pusat sudah mengeluarkan surat edaran.
“Kita jadi serba salah. Oke, kewenangan BOLEH beralih ke gubernur, tetapi serahkan kembali ke bupati/wali kota melalui tugas perbantuan,” ujarnya.
Menurut Yusran, UU 23/2014 tidak akan dipersoalkan oleh kabupaten/kota apabila terimplementasi dalam bentuk tugas pembantuan. Karena menurut dia, fungsi pemerintah provinsi hanya sebagai pembina kabupaten/kota dan sinergi program. Terhadap daerah yang dianggap tidak mampu, adalah tugas pemerintah pusat dan provinsi untuk membinanya. Bukan menggeneralisasi persoalan di kabupaten/kota lantas menarik kewenangannya kepada provinsi.
“Kewenangan dan tugas tetap ada di kabupaten dan kota. Gubernur cukup perintahkan bupati/wali kota, selesai urusan. Tenaganya tenaga daerah, uangnya dari pusat dan provinsi. Seperti halnya urusan kabupaten diserahkan ke kecamatan,” urai ketua DPD Gerindra Kaltim ini.
Sejatinya, kata Yusran, konsep otonomi daerah telah ada semenjak masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Sebagai pusat pemerintahan, Majapahit dan Sriwijaya hanya menerima upeti dari wilayah yang ditaklukkan. Artinya, daerahlah yang menyerahkan bagi hasil kepada pemerintah pusat. Bukan sebaliknya, seperti era otonomi sekarang yang mulai dilucuti kembali.
“Sederhana sistem pemerintahannya, tapi bisa menguasai berbagai belahan negara,” ucapnya.
Pendapat senada disampaikan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Menurut Rizal, hasil Munas Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia (Apeksi) V di Jambi, akhir Juli lalu mendukung langkah hukum Apkasi men-judicial review UU Pemda.
Apeksi memandang perubahan bukanlah hal yang mudah, karena belum tentu pemerintah daerah dan masyarakat siap. Sejak aturan tersebut dikeluarkan, pelaksana dan pekerja di daerah seolah menjadi kebingungan bahkan terhenti. Meski pemeritah pusat telah mengeluarkan ketentuan SE Mendagri No 120/253/Sj tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan, hingga saat ini urusan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) di daerah masih menjadi masalah. Di sisi lain, daerah sangat menunggu ketentuan secara rinci yang dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP).
Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Sabaruddin Panrecalle mendukung langkah hukum judicial review UU Pemda yang dilakukan Apkasi dan Apeksi. Politikus Partai Gerindra ini menilai UU Pemda telah merenggut otonomi daerah serta mengingkari cita-cita reformasi.
“Pembatasan kewenangan kabupaten/kota adalah langkah mundur. Otonomi daerah seluas-luasnya yang telah ditetapkan sejak era reformasi, kini justru kembali diatur oleh pusat,” katanya.
Dampak selanjutnya, kata dia, beragam permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat tidak dapat diselesaikan secara mandiri. Permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah juga mulai dialami, karena anggaran hingga perizinan dibatasi oleh pemerintah pusat.
“Ketika daerah sedang bersemangat untuk mengembangkan diri, kenapa sekarang justru dibatasi kewenangannya,” ujarnya.
Dalam kesempatan menjadi saksi ahli pada persidangan di MK, Indra Perwira, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjajaran menilai kehadiran UU tentang pemerintahan daerah sangat tidak logis. UU 23/2014 ibarat menghidupkan kembali sosok Zombie yang menyeramkan. Setelah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang bernuansa sentralistik ditinggalkan dengan menerbitkan UU 22 tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 yang bernuansa Otonomi daerah, UU No 5/1974 yang telah dikubur lama justru dihidupkan kembali lewat kelahiran UU 23/2014.
SKETSA LEGALITAS
Muhammad Nasir memperlihatkan dua sketsa. Dilihat sepintas, tak ada yang istimewa dari dua sketsa itu. Sketsa yang sangat sederhana dan bisa dibuat oleh anak kecil sekalipun.
Yang mencengangkan, ketika dua sketsa tersebut dilelang di rumah lelang Inggris, harganya mencapai Rp 350 juta. Nominal yang sangat fantastik untuk dua sketsa yang terbuat dari pulpen biasa dan diburu kolektor. Setelah dicermati lebih detail, pada dua sketsa tersebut terdapat goresan LSL -tanda tangan pembuatnya. Seorang seniman lukis yang sangat terkenal. Tanpa goresan tanda tangan seniman lukis terkenal itu, dua sketsa tersebut tak memiliki nilai dan tak akan menjadi incaran kolektor.
Beginilah cara dosen Universitas Balikpapan (Uniba) tersebut memberikan ilustrasi dan mengaitkan dua sketsa bernilai mahal dengan legalitas kelembagaan pengelolaan hutan yang akan ditarik menjadi kewenangan provinsi.
Akademisi yang concern terhadap persoalan lingkungan itu berpendapat, kebijakan pengelolaan hutan pasca peralihan kewenangan dari kabupaten ke provinsi sesuai amanat UU No 23/2014, sangat dipengaruhi oleh tiga unsur. Pertama, cara pandang pemerintah provinsi terhadap nilai strategis pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi. Kedua, cara pandang terhadap urgensi KPHL bagi pengelolaan hutan. Dan ketiga terkait peraturan hukum tentang organisasi perangkat daerah pasca UU No 23 /2014.
Ia lebih sepakat apabila kelembagaan pengelolaan hutan bersifat tugas perbantuan. Sebab, model ini membuka peluang bagi pemkab dan pemkot untuk terlibat menjaga komitmennya dalam menjaga hutan.
Mewakili Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Anwar Saleh mengakui bahwa pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan kepada provinsi cukup berat. Beban berat yang dihadapi pemerintah provinsi, utamanya bersentuhan dengan keterbatasan anggaran dan personel.
Ia menjelaskan pada tahun 2017 mendatang, Pemprov Kaltim hanya mendapat anggaran sebesar Rp 6,6 triliun. “Untuk PU saja tidak cukup, dan itu dibagi kepada 52 SKPD sehingga beberapa SKPD seperti kami sangat kecil sekali. Terus terang, ada tiga bidang di dinas kehutanan yang tidak mendapat anggaran sama-sekali,” bebernya. Sumber:http://balikpapan.prokal.co/
Demikiansemoga bermanfaat,terima kasih.
0 Response to "BENIH SENTRALISTIK KEMBALI DITEBAR PEMERINTAH PUSAT,IBARAT ZOMBIE BERNAMA UU PEMDA,UJUNG-UJUNGNYA GURU DAN PNS YANG MENJADI KORBAN,SIMAK SELENGKAPNYA:"
Posting Komentar